Jumat, 31 Desember 2010

Honey Money (Debbie)


Sinopsis:
 
"Gue mau cari cowok tajir!"

Bosan pacaran bertahun-tahun dengan cowok yang sederhana (baca: gak punya mobil), Dee bertekad untuk mencari cowok kaya. Rasanya mimpi jadi kenyataan saat ia berjumpa dengan Rendy. Wuihh, dia Edward Cullen versi Jakarta! Tinggi, keren, romantis, dan pastinya tajir dong! Dunia terasa berwarna-warni saat Dee bersama Rendy, secerah bunga matahari dan jutaan balon gas yang menerbangkannya seperti rumah di film UP!. Segalanya sempurna—sampai meninggalnya ibu tiri Rendy menguak kebenaran. Semua angan dan cinta yang telah dibangun terasa palsu.

Apakah lebih baik Dee belajar menyayangi Stefan, tetangga sekaligus sahabatnya sejak kecil? Bagaimana dengan rahasia besar keluarga Dee yang tersingkap tiga minggu sebelum ulang tahun ketujuh belasnya?


* * *

Review
Saat pertama kali membaca sinopsisnya, yang terpikir di pikiran saya adalah... “Hm, sepertinya bakal jadi biasa.” Tapi tetap saya ambil juga pada akhirnya, karena saya suka novel Debbie yang sebelumnya, NotJust in Fairy Tale. Lalu, apakah memang novel ini berbeda?

Kisah dalam novel ini dibuka dengan perkataan sang tokoh utama seperti di sinopsisnya: “Gue mau cari cowok tajir!” Adalah Prity Diana, atau biasa disebut Dee (biar keren!), yang memiliki obsesi punya cowok kaya. Gampang saja, Dee bosan setelah pacaran dengan Elbert, tipe cowok baik-baik—pinter, rajin, jarang keluar—dan yang tak punya kendaraan sendiri. Nah, setelah Elbert lulus dan kuliah di Yogyakarta, saatnya Dee bebas, dan memulai ‘pencarian cowok tajir’-nya.


Kemudian datanglah pesta ulangtahun Ane. Dee berkenalan dengan cowok bernama Rendy, sepupu Ane. Rendy memenuhi kriteria Dee: ganteng, pendidikan ‘bagus’ (kuliah di UI yang pasti mahal), punya mobil Altis, lulusan SMA Cahaya Harapan yang terkenal dengan murid-muridnya yang berdompet tebal. Dari situ bisa disimpulkan, Rendy sangat kaya raya.

Bahagia untuk Dee, karena pertemuan itu nggak sampai di situ aja. Rendy datang ke sekolahnya untuk menonton Permata Cup, sering mengajaknya jalan-jalan, hingga suatu hari Rendy mengganti panggilan ‘gue-elo’ dengan ‘aku-kamu’—yang pasti bikin cewek manapun berharap lebih!

Kejadian membahagiakan nggak cuma sampai di situ. Akhirnya, ia resmi menjadi pacarnya Rendy. Bahkan berkenalan dengan keluarganya. Lama kelamaan pun, Dee mulai merasakan, bahwa cintanya untuk Rendy adalah tulus. Mengesampingkan fakta bahwa cowok itu tajir, seperti kriteria yang diinginkannya selama ini, Dee perlahan menyayangi cowok itu.

Tapi, yang namanya roda kehidupan, nggak selalu ada di atas. Ada kalanya berada di bawah. Setelah semua kejadian manis yang bikin Dee bagai melayang ke awan, ia harus dihempaskan ke tanah saat dihadapi pada sebuah kenyataan tentang Rendy. Suatu penjelasan yang dilayangkan seseorang, yang perlahan-lahan menghapus kebahagiannya, menghancurkan mimpi-mimpi indah yang mengisi hari-harinya belakangan.

Dee mau nggak mau harus bertahan, mempercayai Rendy sepenuhnya. Apalagi ketika dirasanya, cintanya untuk Rendy sudah tumbuh dan membesar dengan tulus, mengesampingkan mimpi Dee berpacaran dengan cowok tajir.

Tapi ketika akhirnya pertahanan itu goyah dan mulai retak, apakah itu berarti Dee memang harus berpaling kepada yang lain? Apakah itu Stefan, teman kecilnya yang memang menaruh hati padanya itu?



 “Kau tak menghargai apa yang kaumiliki, dan baru menyesal ketika sudah kehilangannya.” (hlm.217)

“Missing you isn’t the hardest part. Knowing I once had you is what breaks my heart.” (hlm.197)


Review di atas memang sepenuhnya saya tulis mengenai kisah cinta Dee, yang memang ala ABG banget. Tapi, Debbie dengan baik dan telaten mengemas kisah cinta Dee ini dengan bumbu-bumbu yang pas dan dengan cara yang unik. Kisah cinta yang diselingi dengan kehidupan Dee bersama sahabat-sahabatnya, yang ikut ambil bagian dalam kehidupan Dee, menunjukkan bahwa tidak selamanya dalam novel hanya melulu tentang tokoh utama. Betapa sahabat-sahabatnya ikut andil dalam sebagian besar perjalanan cintanya si Dee (you’ll know when you finish it)—menambah nilai plus novel ini.

Honey Money nggak seperti novel kebanyakan yang setelah menemui konflik, dan keadaan dimana si tokoh utama stuck pada kehidupannya dan langsung beralih ke “beberapa waktu kemudian”. Tapi di sini, pembaca benar-benar dibawa kepada kehidupan Dee setelah ia menemui rintangan. Bagaimana jatuh bangunnya Dee, bagaimana ia menata kembali pikiran dan perasaannya setelah semua yang menimpanya, setelah kejutan beruntun yang juga datang dari pihak keluarganya. Seolah Debbie menyiratkan bahwa, memang benar tak selamanya kehidupan berjalan semulus perkiraan manusia, dan bahwa harta bukanlah segalanya. (Memang tak heran sih, ada ketika kalimat-kalimat yang ditulis di sini seperti kalimat motivator, karena memang sang pengarang datang dari latar belakang Fakultas Psikologi.)

Lanjut membahas mengenai waktu, sekalipun ada keterangan waktu yang jumping, itupun diceritakan Debbie dengan halus, sehingga kesannya tidak langsung loncat seperti “beberapa bulan kemudian”, dll. Sampai tak terasa, sudah sampai kepada endingnya.

Saya suka betapa Debbie dengan rapi menyusun novel ini. Selain kejutan-kejutannya, kejadian yang seperti sekilas lalu ternyata mengambil andil yang besar dan baru diungkap di bagian tengah menuju akhir. Sebut saja, adegan Rendy menjemput Dee di rumah Sandra, salah satu sahabat Dee. Adegan yang sepele, tapi rupanya itu menjadi salah satu bukti yang menjawab pertanyaan Dee ketika ia terjebak dalam kebingungannya. Atau, ketika teman-teman Dee menolak menemaninya belanja kebutuhan untuk perpisahan di Bali. Sepele, bukan? Tapi, Debbie dengan telaten menyimpan adegan ini sebagai pemanis di akhir :)

Oke, itu semua dari segi isinya. Dari segi pengeditan, typo tidak begitu mengganggu. Cuma sayangnya ya, hurufnya terlalu kecil. Sangat disayangkan, huruf yang kecil bisa mempengaruhi minat seseorang untuk membaca lho. Bisa mengurangi niat membaca karena bikin mata capek dan akhirnya jadi menunda-nunda baca buku itu (sejauh pengalaman saya).

Yah, dari review saya di atas, kesimpulannya adalah, saya suka novel ini. Saya sangat suka gaya penulisan Debbie yang saya rasa meningkat jauh lebih baik daripada novelnya sebelumnya, penulisan yang membuat alurnya tidak monoton dan mengalir lancar. Saya juga suka bagian akhirnya, epilog yang dikemas dengan tampilan yang unik tapi menyiratkan segalanya. Ah, love it!

Penasaran? Ayo, baca bukunya sekarang dan percayalah, kamu akan menemukan sesuatu yang beda! :D



Sekilas Tentang Penulis

Debbie baru kelas satu SMA saat dia menulis novel pertamanya. Dan sekarang, dia sedang menimba ilmu di Universitas Tarumanegara. Dikelilingi oleh keluarga besar dan sahabat-sahabatnya, hidup gadis kelahiran 15 Mei 1989 ini selalu dipenuhi cinta. Passion hidup Debbie adalah belanja, berburu barang murah, makan martabak keju, pai buah, dan frappucino Starbucks tanpa merasa bersalah, menyanyi dan menari walau belum tentu bagus, serta berkumpul dengan teman-teman dan saudara-saudaranya. Terutama dari Komosi Remaja GKI Muara Karang. Ia juga masih gemar bermain gitar, kecuali kalau centilnya sedang kumat dan ia tak mau kuku hasil manikurnya rusak. Novel favoritnya sampai sekarang ini masih Harry Potter, sekarang ditambah serial Shopaholic dan Twiligh. Kecintaannya akan Disney dan impiannya untuk bertemu Prince Charming (eh, sekarang zamannya Edward Cullen ya) dan hidup bahagia selamanya masih belum pudar. Mendapat beasiswa keluar negri dan keliling dunia sebelum umurnya 30 tahun adalah ambisinya.



My Rating:




Judul : Honey Money
Pengarang : Debbie
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 248 halaman
ISBN : 978-979-22-5709-0


 Regards,

0 comments:

Posting Komentar

Blog Template by SuckMyLolly.com