Minggu, 04 September 2011

Till We Meet Again (Yoana Dianika)


Sinopsis:

Saat pertama kali aku melihat dia hari itu, aku sudah berbohong beberapa kali.

Aku bilang, senyumannya waktu itu tak akan berarti apa-apa. Aku bilang, gempa kecil di dalam perutku hanya lapar biasa. Padahal aku sendiri tahu, sebenarnya aku mengenang dirinya sepanjang waktu. Karena dia, aku jadi ingin mengulang waktu.

Dan suatu hari, kami bertemu lagi. Di saat berbeda, tetapi tetap dengan perasaan yang sama. Perasaanku melayang ke langit ketujuh karena bertemu lagi dengan dirinya. Jantungku berdetak lebih cepat seolah hendak meledak ketika berada di dekatnya. Aku menggigit bibir bawahku, diam-diam membatin, “Ah, ini bakal jadi masalah. Sepertinya aku benar-benar jatuh cinta kepadamu.”

Apakah aku bisa sedetik saja berhenti memikirkan dirinya? Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku jatuh cinta, tetapi ragu dan malu untuk menyatakannya.

* * *

Lagi-lagi, saya ingin memuji Gagas Media, yang dengan membuat saya membeli novel ini atas dasar sinopsis + covernya yang sweet. Memang terlihat kok, cover buku yang diterbitkan Gagas Media memang khas, sweet, dan "berbeda".

Dari covernya, terlihat bahwa novel ini berhubungan dengan biola dan negara Austria, karena tertulis di situ “Till We Meet Again: Menjemput Cinta di Austria”. Wow, sesuatu yang seru karena memang ternyata novel ini bersetting di Wina, Austria.


Dikisahkan Elena Sebastian Atmadja, 17 tahun, yang menghabiskan masa kecilnya di Wina kemudian pindah ke Indonesia (tanah kelahiran sang ayah, Sebastian) karena Sebastian ingin melupakan segala kesedihan atas meninggalnya ibu Elena, Esther Nikolaidi. Esther seorang pemain biola dan aktris teater yang andal dan terkenal. Bakat seninya menular ke Elena, dan akhirnya Elena memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Universitas Wina.

Sewaktu Elena kecil, ia sempat kehilangan kalung berliontin biola pemberian sang ibu. Elena mencari-carinya di halaman Istana Schönbrunn (Schloß Schönbrunn). Di situ ia bertemu seorang anak laki-laki yang ternyata mengamatinya. Anak laki-laki itu memberinya sebuah kaiserschmarrn untuk menghibur Elena yang menangis. Pertemuan yang sweet itulah, yang mengawali kerinduan Elena bertemu dengan anak itu lagi.

Maka Elena pun menempuh Wina—melanjutkan sekolahnya sekaligus mencari cinta pertamanya itu. Di apartemen tempatnya tinggal, ia seapartemen dengan Kimiko dan Dupont. Kimiko asal Jepang dan Dupont asal Prancis. Diceritakan Kimiko adalah gadis gaya Harajuku yang sangat nyentrik, sementara Dupont berkebalikannya—kasual dengan baju mahal dan bermerk.

Di depan apartemennya, ada apartemen 2 cowok tampan: Chris dan Häns. Elena jatuh cinta dengan salah satu dari keduanya, karena hatinya berkata bahwa salah satunya adalah cinta masa kecilnya. Ia terobsesi laki-laki itu, sehingga melupakan yang lain. Dari sini, sang pengarang membawa kita menuju saat-dimana-seorang-gadis-jatuh-cinta. Semua terasa indah, melambungkan Elena dan membuatnya yakin bahwa laki-laki itu adalah cinta masa kecilnya.

Benarkah? Entahlah, saya tak mau membeberkannya. Nanti jadi tidak seru ‘kan? ;)

* * *

1. Yang membuat saya kagum, sungguh novel ini terasa sangat real. Deskripsi yang dijelaskan oleh sang pengarang benar-benar detail, seolah sang pengarang memang pernah bersekolah di Wina atau setidaknya tinggal di Wina—untuk mengetahui beberapa informasi yang cukup sulit diperoleh dari internet semata.
Selain untuk deskripsi novel, penjelasan mendetail tentang bangunan-bangunan megah nan indah di Wina ini juga untuk pengetahuan kita lho. Misalnya, ketika Elena mengunjungi Istana Hofburg. Dijelaskan bahwa di dalam Istana Hofburg ada Museum für Völkerkunde, di mana di Museum Etnologi itu terdapat ruang Indonesia dan literatur mengenai kebudayaan Indonesia. Di situ juga ada keris Pangeran Diponegoro yang dibeli oleh Pangeran Franz Ferdinand saat berkeliling dunia.
Masih banyak lagi info yang bisa didapatkan tentang Wina, terutama bangunan dan deskripsi lingkungan sekitar sana. Misalnya, Ringstraß, Wiener Staatsoper, Istana Schönbrunn, Stephansdome, Stadtpark, Museum Quartier, dst.

2. Proporsi awal sampai akhir. Tak hanya di bagian depan saja, tetapi menuju ending pun deskripsi-yang-detail masih diperhatikan! Wow, salut untuk Yoana Dianika :)

3. Tentang tokoh. Poin plusnya lagi, Yoana Dianika sangat peduli terhadap tokoh-tokohnya. Bagaimana fisik (mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki) dan juga pakaian semua tokoh dijelaskan detail, membantu para pembaca membayangkannya. Satu hal yang sering luput dari perhatian penulis lainnya.

4. Penggunaan bahasa di Austria pun ditampilkan. Di beberapa percakapan terselip kalimat berbahasa Jerman, membuat saya semakin merasakan aura Austria *ea* ketika membacanya.

Tetapi....

5. Tak ada karya sempurna.
Ya, di samping poin plus itu, pasti ada poin yang “kurang greget”. Ya, menurut saya, penuturan konflik di dalamnya masih kurang. Walaupun sang tokoh sedang mengalami konflik, tapi belum ada emosi yang menggebu-gebu.

Salut, poin-poin plus—dan negatif itulah yang menurut saya membuat novel ini patut dibaca! Semoga untuk karya selanjutnya semakin baik. Waiting for the next book!! :))


Rate:
 




Judul             :  Till We Meet Again
Pengarang   :  Yoana Dianika
Penerbit        : Gagas Media
Tebal              :  298 halaman
ISBN              :  978-979-78-0500-5


Regards,

0 comments:

Posting Komentar

Blog Template by SuckMyLolly.com