Minggu, 18 Januari 2015

28 Detik


Pengarang : Ifa Inziati
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 2014
Tebal : 230 halaman

Sinopsis:

Kamu itu cewek paling aneh yang pernah kutemui.

Nyebelin, tapi bikin penasaran.
Cantik, tapi belagu.
Ngeselin, tapi pengen dijadiin pacar.
Sebenarnya, kamu ini terbuat dari apa, sih?

Kamu membuatku membangun harapan sekaligus meruntuhkannya. Seluruh impian yang sudah kubangun seumur hidup buyar seketika.
Hanya butuh waktu 28 detik untuk secangkir kopi yang nikmat. Tapi, untuk meraih hatimu? Berapa lama lagi harus kukorbankan egoku?


Review:

Dari cover dan sinopsisnya, saya mengira ini bercerita tentang anak SMA, entah dia suka kopi atau nongkrong di kedai kopi atau semacamnya. Tapi ternyata beda jauh...


Menceritakan tentang sebuah kehidupan di kedai kopi kecil di Bandung bernama Kedai KopiKasep. Adalah Candu, seorang lulusan Teknik Fisika di ITB. Sejak kecil, ia sudah ‘akrab’ dengan kopi. Karena kecintaannya pada kopi tersebut dan keinginan mengejar mimpinya menjadi barista, Candu tidak menggunakan ijazahnya dan justru bekerja di KopiKasep.

Candu tak sendiri. Ia punya teman-teman yang menjaga KopiKasep bersamanya: Satrya si barista dan ahli latte art; Winona yang selalu melayani pengunjung langsung; Sery sang chef; dan Nino si penjaga meja kasir yang selalu mengupdate KopiKasep melalui medsos.

Tadinya kehidupan di kedai biasa-biasa saja. Masih mereka berlima mengisi hari-hari di kedai dengan tawa canda. Hanya saja pengunjung kedai makin bertambah ramai, tepatnya sejak dua tahun lalu Candu menjadi juara tiga di Nusantara Barista Tournament (semacam pertandingan antar barista se-Indonesia) dan membawa nama KopiKasep.

Namun, kedatangan ‘dia’ mengubah segalanya.

Teh Cheryl, seorang ahli kopi, datang ke kedai membawa keponakannya yang masih SMA, Rohan. Suatu ketika Winona lupa pesanan seorang pengunjung, dan tanpa diduga Rohan menyebutkannya dengan lancar karena ia sempat mendengar pengunjung itu menyebutkan pesanannya—padahal itu pertama kalinya Rohan ke kedai dan ia bahkan tak suka kopi. Semua kaget, bahkan Teh Cheryl pun mengaku tak hapal nama-nama pesanan itu kalaupun ia juga mendengarnya.

Kemudian diketahui, bahwa ternyata Rohan ini sinestesia. Ia bisa cepat menghapal, dan bisa melihat warna dari angka atau huruf. Langka.

Awalnya Candu menganggapnya kaku dan menyebalkan. Tapi tanpa disadari, lama-lama ia tertarik, apalagi ketika Rohan ingin menukar ‘bakat’nya dengan semangat Candu. Rupanya, Rohan tak tahu jurusan apa cocok dengan bakat sinestesia-nya, sementara ia melihat Candu begitu menggebu-gebu dan bahagia hanya dengan menjadi barista walaupun lulusan ITB.

Candu percaya, tanpa bakat bertele-tele, ia bisa sukses. Dan ia berniat membuktikannya pada Rohan dengan ikut Nusantara Barista Tournament berikutnya.

That’s why gue nggak percaya bakat. My talent is the passion.”

* * * * * * * *

Hanya dengan 28 detik pertama #eaaa saya sudah jatuh cinta pada buku ini karena buku ini: unik.

Unik, kreatif, cerdas sekali karena penulis memakai sudut pandang pertama yang nggak biasa: sudut pandang sebuah mesin espresso

Ya, anda tidak salah baca. Sebuah mesin espresso di kedai itu, namanya Simoncelli. Jadi, apa yang diceritakan benar-benar semua yang ‘dilihat’ oleh Simoncelli, semua yang terjadi di dalam kedai—karena mesin espresso tak mungkin berjalan ke luar. 
Ah, penasaran? ;)

Tunggu. Nggak cuma itu yang bikin jatuh cinta.
Bagaimana “Simoncelli” ini melihat dan menceritakan yang terjadi di kafe ini terasa nyata banget. Sampai-sampai saya sering tak sadar kalau tokoh ‘aku’ di novel ini adalah sebuah mesin espresso dan bikin saya seperti menyaksikan di kedainya langsung. Kalaupun kemudian sadar ini hanya cerita, kok rasanya kehidupan di kedai kopi ini memang based on true story... Hmm, penasaran lagi? ;)

Gaya ceritanya yang begitu juga membuat alurnya apik, rapi, mengalir gitu aja. Walaupun di awal-awal banget kadang saya masih kurang mudeng (paham) sama penjelasannya, jadi banyak yang terlewat dan sempat membuat saya kembali ke halaman awal begitu sudah sampai di tengah-tengah.
Tapi, saya tetap menikmati ceritanya. Bagaimana keseharian dan keakraban tokoh-tokohnya, saling mengejek satu sama lain, saling mendukung ketika ada masalah—salah satunya ketika Rohan galau jurusan.

Jujur, saya teringat 2-3 tahun yang lalu ketika masih masa-masanya galau jurusan. Masa-masa frustasi. Apalagi yang dialami Rohan ini... Aduh Rohan, saya tau kok apa yang kamu rasakan! Menyenangkan hati kedua orangtua, menjalani hari dengan menekuni akademis dengan serius sampai rasanya membosankan, lulus SMA dengan nilai baik, lanjut ke perguruan tinggi dengan harapan orangtua bisa kerja di perusahaan, walau keinginan hati sesungguhnya bukan di situ (karena saya mulai merasa saya sepertinya salah jurusan, haha!).

“...karena aku cuma nggak mau menyesal sudah masuk pilihan yang salah. Percuma kalau bertahun-tahun hanya diisi dengan hafalan. Dari TK sampai kuliah, tidak ada ilmu yang diserap.”

Karena itu mari kita move on saja, daripada baper.

Hal lain yang saya soroti tiap baca novel: tokoh-tokohnya! 
Yup, di sini penokohannya kuat. Tiap tokoh punya ‘porsi’ yang sama rata—walaupun saya tahu banget Candu dan Rohan lebih diceritakan. Sampai saya bingung sendiri kira-kira siapa yang saya sukai, haha! Mungkin pengaruh sudut pandang si mesin espresso, jadi lebih objektif.

Entah itu Candu yang saking semangatnya sampe suka kelewat percaya diri—tapi di situlah poin positifnya; Rohan yang pintar dan manis tapi ternyata rapuh; Satrya yang lembut, bijak dan oh-calon-suami-idaman-sekali; Winona yang ceria dan pembuat ramai kedai; Sery yang kalem plus baiknya maksimal; Nino yang diam-diam menghanyutkan; sampai Pak Jac si pemilik kedai yang......... Sunda pisan!

“Nama boleh Jacob, tapi hati mah tetep Sunda asli! Lahir dan besar langsung di bumi Parahyangan!”

Saya juga menikmati penjelasan-penjelasan tentang kopi yang banyak bertebaran. Lumayan, berhubung saya nggak suka kopi dan nggak tahu-menahu tentang kopi, seperti peribahasa: sambil menyelam minum air—sambil membaca, ilmu bertambah!

“...Dari pengolahannya juga beda. Di sini terkenal dengan semidry process. Dan itu cuma bisa dilakukan di wilayah yang lembap tapi sinar mataharinya melimpah, jadi kopi dari daerah Arab atau Afrika tidak diolah dengan cara itu.”

Overall, saya puas! Suka banget sama pemilihan sudut pandangnya yang kreatif, detail-detail kecil tapi tidak membosankan, serta ‘pengemasan’ novel dengan ilustrasi-ilustrasi sebagai daya tarik dan bantuan imajinasi. 

Jadi, mungkin kamu sedang galau jurusan? Bingung passion-mu di mana, atau kamu punya impian dan passion tapi kamu kehilangan semangatmu itu? Mungkin setelah membaca ini, akan ada pencerahan di hatimu.

“Bakat istimewa kamu, pasti juga ada hubungannya dengan jalan yang kamu tempuh. Tenang saja.”


RATE : 4/5


PS: Bisa dibilang, menanti karya Ifa Inziati yang berikutnya :)

0 comments:

Posting Komentar

Blog Template by SuckMyLolly.com