Sudah jatuh, ketimpa tangga, ketumpahan cat, kepeleset, terjungkal masuk sumur, lecet benjol, berdarah-darah, kemudian dicaplok buaya nganga. Begitulah perumpamaan kisah hidup Tita sekarang. Jungkir balik, berantakan secara mengerikan.
Ini bukan mimpi! Papanya dianggap koruptor, jadi tumbal dan masuk penjara. Efeknya? Mama harus dirawat karena depresi, adik mogok sekolah, pacar menghilang, sahabat menjauh, dan ujung-ujungnya, semua aset keluarga disita guna membayar ganti rugi negara. Seperti belum cukup, dia masih harus berhadapan dengan Dido: cowok keren berkedok dewa yang nyaris melahapnya!
Ini bukan sinetron! Karenanya Tita tak sampai banjir air mata hingga ratusan episode. Dia harus tetap berdiri tegak untuk melanjutkan hidup. Dia harus bisa tertawa cerah bagai mercusuar di gelap kehidupan keluarganya. Apalagi akhirnya dia tahu, ada seseorang yang tak membiarkannya sendirian tergulung badai. Seseorang yang tanpa disadarinya, selama ini telah menjaganya.
* *
*
"Di lapas ada Pak Ujang—petugas jaga—yang mau membantunya bertemu Papa sebentar saja, walau bukan jam besuk. Tentu untuk itu dia harus menyelipkan selembar uang dan sebungkus rokok. Huh, dia jadi tukang suap sekarang. Memang begitu aturan mainnya." (hlm.178)
Retni
SB membawa kita kepada realita kehidupan politik Indonesia sekarang. Korupsi
dimana-mana. Suap yang tak mengenal waktu dan tempat. Dan ironisnya, juga
dipaparkan dengan jelas bagaimana tidak adilnya hukum di negara ini. Tak ada
kejelasan hukum. Satu orang menjadi tumbal untuk beberapa pihak lain yang masih
berkeliaran di luar sana. Uang benar-benar membutakan mereka.
Yang
kena imbas adalah Tita, gadis lulusan Arsitektur yang hidupnya bagaikan
tersambar petir. Papanya divonis hukum penjara 6 tahun dan harus mengganti rugi
110 milyar (yang sebenarnya bukan papanya yang mengkorup, tapi apa daya hukum
yang tak adil). Belum lagi bayaran ini-itu yang tak bisa diabaikan.