Sinopsis:
Saat pertama kali aku melihat dia hari itu, aku sudah
berbohong beberapa kali.
Aku bilang, senyumannya waktu itu tak akan berarti
apa-apa. Aku bilang, gempa kecil di dalam perutku hanya lapar biasa. Padahal
aku sendiri tahu, sebenarnya aku mengenang dirinya sepanjang waktu. Karena dia,
aku jadi ingin mengulang waktu.
Dan suatu hari, kami bertemu lagi. Di saat berbeda,
tetapi tetap dengan perasaan yang sama. Perasaanku melayang ke langit ketujuh
karena bertemu lagi dengan dirinya. Jantungku berdetak lebih cepat seolah
hendak meledak ketika berada di dekatnya. Aku menggigit bibir bawahku,
diam-diam membatin, “Ah, ini bakal jadi masalah. Sepertinya aku benar-benar
jatuh cinta kepadamu.”
Apakah aku bisa sedetik saja berhenti memikirkan
dirinya? Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku jatuh cinta, tetapi ragu dan malu
untuk menyatakannya.
* *
*
Lagi-lagi,
saya ingin memuji Gagas Media, yang dengan membuat saya membeli novel ini atas
dasar sinopsis + covernya yang sweet. Memang terlihat kok, cover buku yang
diterbitkan Gagas Media memang khas, sweet, dan "berbeda".
Dari
covernya, terlihat bahwa novel ini berhubungan dengan biola dan negara Austria,
karena tertulis di situ “Till We Meet Again: Menjemput Cinta di Austria”. Wow,
sesuatu yang seru karena memang ternyata novel ini bersetting di Wina, Austria.
Dikisahkan Elena Sebastian Atmadja, 17 tahun, yang menghabiskan masa kecilnya di Wina kemudian pindah ke Indonesia (tanah kelahiran sang ayah, Sebastian) karena Sebastian ingin melupakan segala kesedihan atas meninggalnya ibu Elena, Esther Nikolaidi. Esther seorang pemain biola dan aktris teater yang andal dan terkenal. Bakat seninya menular ke Elena, dan akhirnya Elena memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Universitas Wina.
Sewaktu
Elena kecil, ia sempat kehilangan kalung berliontin biola pemberian sang ibu. Elena
mencari-carinya di halaman Istana Schönbrunn (Schloß Schönbrunn). Di situ ia
bertemu seorang anak laki-laki yang ternyata mengamatinya. Anak laki-laki itu
memberinya sebuah kaiserschmarrn untuk menghibur Elena yang menangis. Pertemuan yang sweet itulah, yang mengawali kerinduan Elena bertemu dengan anak
itu lagi.
Maka
Elena pun menempuh Wina—melanjutkan sekolahnya sekaligus mencari cinta
pertamanya itu. Di apartemen tempatnya tinggal, ia seapartemen dengan Kimiko
dan Dupont. Kimiko asal Jepang dan Dupont asal Prancis. Diceritakan Kimiko
adalah gadis gaya Harajuku yang sangat nyentrik, sementara Dupont
berkebalikannya—kasual dengan baju mahal dan bermerk.
Di
depan apartemennya, ada apartemen 2 cowok tampan: Chris dan Häns. Elena jatuh
cinta dengan salah satu dari keduanya, karena hatinya berkata bahwa salah
satunya adalah cinta masa kecilnya. Ia terobsesi laki-laki itu, sehingga
melupakan yang lain. Dari sini, sang pengarang membawa kita menuju saat-dimana-seorang-gadis-jatuh-cinta.
Semua terasa indah, melambungkan Elena dan membuatnya yakin bahwa laki-laki itu
adalah cinta masa kecilnya.
Benarkah?
Entahlah, saya tak mau membeberkannya. Nanti jadi tidak seru ‘kan? ;)
* *
*
1. Yang
membuat saya kagum, sungguh novel ini terasa sangat real. Deskripsi yang
dijelaskan oleh sang pengarang benar-benar detail, seolah sang pengarang memang
pernah bersekolah di Wina atau setidaknya tinggal di Wina—untuk mengetahui
beberapa informasi yang cukup sulit diperoleh dari internet semata.
Selain
untuk deskripsi novel, penjelasan mendetail tentang bangunan-bangunan megah nan
indah di Wina ini juga untuk pengetahuan kita lho. Misalnya, ketika Elena mengunjungi
Istana Hofburg. Dijelaskan bahwa di dalam Istana Hofburg ada Museum für Völkerkunde, di mana
di Museum Etnologi itu terdapat ruang Indonesia dan literatur mengenai
kebudayaan Indonesia. Di situ juga ada keris Pangeran Diponegoro yang dibeli
oleh Pangeran Franz Ferdinand saat berkeliling dunia.
Masih
banyak lagi info yang bisa didapatkan tentang Wina, terutama bangunan dan deskripsi
lingkungan sekitar sana. Misalnya, Ringstraß,
Wiener Staatsoper,
Istana Schönbrunn,
Stephansdome,
Stadtpark,
Museum Quartier,
dst.
2. Proporsi awal sampai akhir. Tak hanya di bagian depan saja, tetapi menuju ending pun deskripsi-yang-detail masih diperhatikan! Wow, salut untuk Yoana Dianika :)
3. Tentang tokoh. Poin
plusnya lagi, Yoana Dianika sangat peduli terhadap tokoh-tokohnya. Bagaimana
fisik (mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki) dan juga pakaian semua tokoh
dijelaskan detail, membantu para pembaca membayangkannya. Satu hal yang sering
luput dari perhatian penulis lainnya.
4. Penggunaan
bahasa di Austria pun ditampilkan. Di beberapa percakapan terselip kalimat
berbahasa Jerman, membuat saya semakin merasakan aura Austria *ea* ketika
membacanya.
Tetapi....
5. Tak
ada karya sempurna.
Ya,
di samping poin plus itu, pasti ada poin yang “kurang greget”. Ya, menurut
saya, penuturan konflik di dalamnya masih kurang. Walaupun sang tokoh sedang
mengalami konflik, tapi belum ada emosi yang menggebu-gebu.
Salut,
poin-poin plus—dan negatif itulah yang menurut saya membuat novel ini patut
dibaca!
Semoga untuk karya selanjutnya semakin baik. Waiting for the next book!! :))
Rate:
Rate:
Judul : Till We Meet Again
Pengarang : Yoana Dianika
Penerbit :
Gagas Media
Tebal : 298 halaman
0 comments:
Posting Komentar