Sinopsis:
We
don't always see what we think we see...
Buat
Nana Lovari, gadis metropolis berusia 24 tahun, hidup tak lebih dari sekedar
pacar yang rewel, atasan yang bawel, ibu yang suka menuntut, ataupun jenis
lipgloss apa yang harus ia kenakan hari ini. As simple as that. Sampai suatu
ketika...
Nana
menabrak seorang gadis kecil, anak jalanan bernama Agil.
Dan
sejak saat itu, hidup Nana berubah seratus delapan puluh derajat. Begitupun
cara pandangnya.
Melalui
Agil, Nana belajar punya hati yang peduli terhadap merrka yang lebih tidak
beruntung darinya. Ia menjadi kakak asuh, dan ikut kegiatan sosial peduli
jalanan. Nana juga jatuh cinta pada Jay, prince charming-nya yang baik hati,
kakak asuh Agil. Oh yeah, thanks to both of them. Karena mereka, Nana berubah
jadi orang yang benar-benar baru.
Hanya
saja life don't always turn out what we expect them to be. Ketika datang cobaan
berat yang mengancam pekerjaan, harga diri, juga kekasihnya, bisakah Nana
bertahan?
* *
*
Nana,
gadis imut nan modis yang bekerja sebagai supervisor di divisi Finance sebuah
perusahaan. Sehari-harinya, Nana melampiaskan stresnya menghadapi segudang data
keuangan dan penuh angka dengan hang out ke Pacifik Square yang dekat
kantornya. Kadang ditemani Shari, sobatnya. Seperti itulah keseharian Nana.
Ditambah berbagai date after work dengan pacarnya, Hans, yang adalah
pewaris hotel ternama di Jakarta.
Suatu
hari, Nana ada janji dinner dengan Hans di sebuah restoran. Di perjalanan,
entah matanya meleng atau apa, ia tak sengaja menabrak sepeda yang dikendarai
seorang anak perempuan. Bocah bernama Agil. Agil yang kumal dan dekil, tapi
polos, tulus dan baik hati. Pertemuan itu membuat Nana kenal Agil. Dan ketika
tahu bahwa adik Agil sakit, terketuklah hati nurani Nana sehingga ia memberikan
uang untuk berobat sebagai ganti sepeda yang telah dirusaknya.
Pertemuan
itu malah bikin Nana terlambat datang dan bikin Hans marah besar. Alhasil Hans
mabuk dan Nana ikutan mabuk. Tapi rupanya itu hanya membuat orangtua Hans yang
merasa diri mereka terpandang jadi melecehkan Nana dan akhirnya mereka putus.
Dengan tidak baik-baik. (Karena memang si Hans itu super brengsek. Playboy
cap kacang yang mainannya pamer kekayaan! Bah!)
Berusaha
menyembuhkan diri dari patah hati dan karena rasa peduli Nana pada keadaan Agil
membuatnya 'mencari' Agil. Dan ketemu. But hey, siapa sangka, Agil punya kakak
asuh yang membiayai sekolahnya? Agil membawa Nana kepada kakak asuhnya, Jay.
Dan ternyata Jay dulu pernah Nana 'sundul' bokongnya *ups* dengan mobilnya. Aw,
seperti di drama saja. Pertemuan pertama yang tidak menyenangkan justru awal
dari pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Dari
Jay, Nana mengerti tentang 'kakak asuh'. Jay membantu anak-anak kurang mampu
untuk bersekolah. Membantu mencerahkan masa depan mereka. Serta berpikir luas
tentang kehidupan yang tak hanya tentang kita saja, tapi juga tentang orang
lain.
"Dan sejak itu aku sadar, Jay, kita hidup di dunia nyata. Dan dalan realita, tidak semua orang bernasib sebaik kita. Dan aku jadi tahu, banyak yang lebih penting dari sekadar fashion, baju bagus, atau mungkin masalah... pacar?" (hlm.133)
Kehidupan
Nana begitu sempurna saat itu. Ia tergabung di organisasi sosial yang didirikan
Jay (wow, salut!). Tapi sekali lagi kita diingatkan, Tuhan yang mengatur
hidup kita. Baik buruknya tak bisa ditentukan. Begitu pula hidup Nana.
Suatu
kasus di perusahaannya yang menjerat namanya seorang sebagai pelaku tunggal
mengancam kariernya yang terbilang mulus. Belum lagi tatapan sinis dan
mencemooh dari para karyawan perusahaannya. Seakan belum lengkap, terbit
masalah dengan Jay. Yang tidak bisa disangkal, bikin hati Nana cenat-cenut...
"Cobalah kamera kehidupan kita disetel bukan hanya untuk zoom ke sesuatu, Nana. Tapi untuk melihat semua perspektif yang ada dari jauh. Cobalah hilangkan zoom itu. Dengannya, kita baru tahu, hidup tidak berhenti hanya karena satu masalah." (hlm.197)
Ide
ceritanya bagus. Secara tidak langsung mengetuk hati nurani kita tentang mereka
yang kurang beruntung.
Kenapa
judulnya 'Zoom'? Karena di sini Nana selalu berfokus pada masalahnya, tanpa
melihat sekelilingnya. Padahal ada banyak hal berharga di luar masalahnya itu
sendiri. Seperti teori Zoom ala Jay:
"Ingatlah, Nana, cobalah untuk tidak men-zoom kamera kehidupanmu ke masalahmu. Karena banyak hal di luar sana yang tidak akan terlihat oleh mata kita sebagai manusia. Karena pandangan kita begitu terbatas. Tapi ingatlah, semua yang terjadi sudah diatur sempurna oleh Yang Di Atas." (Hlm.281)
Uh,
itu agak menohok rupanya. Karena memang itu yang wajar terjadi pada kita
manusia. Terlalu terfokus, sehingga kita tidak melihat bahwa sebenarnya masih
banyak hal lain yang patut disyukuri. Seperti Nana yang 'tobat' setelah melihat
kehidupan yang Agil jalani.
Semuanya
oke-oke saja, cuma yang agak mengganggu saya adalah penggunaan huruf miring (italic). Di novel ini
begitu banyak kalimat atau setidaknya kata dalam bahasa Inggris yang tidak
di'miring'kan. Yang dimiringkan hanyalah jika sang tokoh berkata dalam hatinya.
Itu saja, titik. Yah... Bukan apa-apa sih tapi buat saya kurang nyaman aja,
serius. Selain itu, semuanya oke (y).
Hm.
Now I’m looking for another Rina Suryakusuma’s book :D
My Rating:
Judul
: Zoom
Pengarang
: Rina Suryakusuma
Penerbit
: Penerbit Lintas
Tebal
: 296 halaman
ISBN
: 978-979-17528-5-5
Regards,
0 comments:
Posting Komentar