Sinopsis:
"Gue mau cari cowok tajir!"
Bosan pacaran bertahun-tahun dengan cowok yang sederhana (baca: gak
punya mobil), Dee bertekad untuk mencari cowok kaya. Rasanya mimpi jadi
kenyataan saat ia berjumpa dengan Rendy. Wuihh, dia Edward Cullen versi
Jakarta! Tinggi, keren, romantis, dan pastinya tajir dong! Dunia terasa
berwarna-warni saat Dee bersama Rendy, secerah bunga matahari dan jutaan balon
gas yang menerbangkannya seperti rumah di film UP!. Segalanya sempurna—sampai
meninggalnya ibu tiri Rendy menguak kebenaran. Semua angan dan cinta yang telah
dibangun terasa palsu.
Apakah lebih baik Dee belajar menyayangi Stefan, tetangga sekaligus
sahabatnya sejak kecil? Bagaimana dengan rahasia besar keluarga Dee yang
tersingkap tiga minggu sebelum ulang tahun ketujuh belasnya?
* * *
Review
Saat pertama
kali membaca sinopsisnya, yang terpikir di pikiran saya adalah... “Hm,
sepertinya bakal jadi biasa.” Tapi tetap saya ambil juga pada akhirnya, karena
saya suka novel Debbie yang sebelumnya, NotJust in Fairy Tale. Lalu, apakah memang novel ini berbeda?
Kisah dalam
novel ini dibuka dengan perkataan sang tokoh utama seperti di sinopsisnya: “Gue mau cari cowok tajir!” Adalah Prity
Diana, atau biasa disebut Dee (biar keren!), yang memiliki obsesi punya cowok
kaya. Gampang saja, Dee bosan setelah pacaran dengan Elbert, tipe cowok
baik-baik—pinter, rajin, jarang keluar—dan yang tak punya kendaraan sendiri. Nah,
setelah Elbert lulus dan kuliah di Yogyakarta, saatnya Dee bebas, dan memulai ‘pencarian
cowok tajir’-nya.
Kemudian
datanglah pesta ulangtahun Ane. Dee berkenalan dengan cowok bernama Rendy,
sepupu Ane. Rendy memenuhi kriteria Dee: ganteng, pendidikan ‘bagus’ (kuliah di
UI yang pasti mahal), punya mobil Altis, lulusan SMA Cahaya Harapan yang
terkenal dengan murid-muridnya yang berdompet tebal. Dari situ bisa
disimpulkan, Rendy sangat kaya raya.
Bahagia untuk
Dee, karena pertemuan itu nggak sampai di situ aja. Rendy datang ke sekolahnya
untuk menonton Permata Cup, sering mengajaknya jalan-jalan, hingga suatu hari
Rendy mengganti panggilan ‘gue-elo’ dengan ‘aku-kamu’—yang pasti bikin cewek
manapun berharap lebih!
Kejadian membahagiakan
nggak cuma sampai di situ. Akhirnya, ia resmi menjadi pacarnya Rendy. Bahkan
berkenalan dengan keluarganya. Lama kelamaan pun, Dee mulai merasakan, bahwa
cintanya untuk Rendy adalah tulus. Mengesampingkan fakta bahwa cowok itu tajir,
seperti kriteria yang diinginkannya selama ini, Dee perlahan menyayangi cowok
itu.
Tapi, yang
namanya roda kehidupan, nggak selalu ada di atas. Ada kalanya berada di bawah.
Setelah semua kejadian manis yang bikin Dee bagai melayang ke awan, ia harus
dihempaskan ke tanah saat dihadapi pada sebuah kenyataan tentang Rendy. Suatu
penjelasan yang dilayangkan seseorang, yang perlahan-lahan menghapus
kebahagiannya, menghancurkan mimpi-mimpi indah yang mengisi hari-harinya
belakangan.
Dee mau nggak
mau harus bertahan, mempercayai Rendy sepenuhnya. Apalagi ketika dirasanya,
cintanya untuk Rendy sudah tumbuh dan membesar dengan tulus, mengesampingkan
mimpi Dee berpacaran dengan cowok tajir.
Tapi ketika
akhirnya pertahanan itu goyah dan mulai retak, apakah itu berarti Dee memang
harus berpaling kepada yang lain? Apakah itu Stefan, teman kecilnya yang memang
menaruh hati padanya itu?
“Kau tak menghargai apa yang kaumiliki, dan baru menyesal ketika sudah kehilangannya.” (hlm.217)
“Missing you isn’t the hardest part. Knowing I once had you is what breaks my heart.” (hlm.197)
Review di atas
memang sepenuhnya saya tulis mengenai kisah cinta Dee, yang memang ala ABG
banget. Tapi, Debbie dengan baik dan telaten mengemas kisah cinta Dee ini
dengan bumbu-bumbu yang pas dan dengan cara yang unik. Kisah cinta yang
diselingi dengan kehidupan Dee bersama sahabat-sahabatnya, yang ikut ambil
bagian dalam kehidupan Dee, menunjukkan bahwa tidak selamanya dalam novel hanya
melulu tentang tokoh utama. Betapa sahabat-sahabatnya ikut andil dalam sebagian
besar perjalanan cintanya si Dee (you’ll
know when you finish it)—menambah nilai plus novel ini.
Honey Money nggak seperti novel kebanyakan yang setelah menemui
konflik, dan keadaan dimana si tokoh utama stuck
pada kehidupannya dan langsung beralih ke “beberapa waktu kemudian”. Tapi di
sini, pembaca benar-benar dibawa kepada kehidupan Dee setelah ia menemui
rintangan. Bagaimana jatuh bangunnya Dee, bagaimana ia menata kembali pikiran
dan perasaannya setelah semua yang menimpanya, setelah kejutan beruntun yang
juga datang dari pihak keluarganya. Seolah Debbie menyiratkan bahwa, memang
benar tak selamanya kehidupan berjalan semulus perkiraan manusia, dan bahwa
harta bukanlah segalanya. (Memang tak
heran sih, ada ketika kalimat-kalimat yang ditulis di sini seperti kalimat
motivator, karena memang sang pengarang datang dari latar belakang Fakultas
Psikologi.)
Lanjut
membahas mengenai waktu, sekalipun ada keterangan waktu yang jumping, itupun diceritakan Debbie
dengan halus, sehingga kesannya tidak langsung loncat seperti “beberapa bulan
kemudian”, dll. Sampai tak terasa, sudah sampai kepada endingnya.
Saya suka
betapa Debbie dengan rapi menyusun novel ini. Selain kejutan-kejutannya, kejadian
yang seperti sekilas lalu ternyata mengambil andil yang besar dan baru diungkap
di bagian tengah menuju akhir. Sebut saja, adegan Rendy menjemput Dee di rumah
Sandra, salah satu sahabat Dee. Adegan yang sepele, tapi rupanya itu menjadi
salah satu bukti yang menjawab pertanyaan Dee ketika ia terjebak dalam
kebingungannya. Atau, ketika teman-teman Dee menolak menemaninya belanja
kebutuhan untuk perpisahan di Bali. Sepele, bukan? Tapi, Debbie dengan telaten
menyimpan adegan ini sebagai pemanis di akhir :)
Oke, itu semua
dari segi isinya. Dari segi pengeditan, typo tidak begitu mengganggu. Cuma
sayangnya ya, hurufnya terlalu kecil. Sangat disayangkan, huruf yang kecil bisa
mempengaruhi minat seseorang untuk membaca lho. Bisa mengurangi niat membaca
karena bikin mata capek dan akhirnya jadi menunda-nunda baca buku itu (sejauh
pengalaman saya).
Yah, dari
review saya di atas, kesimpulannya adalah, saya suka novel ini. Saya sangat
suka gaya penulisan Debbie yang saya rasa meningkat jauh lebih baik daripada
novelnya sebelumnya, penulisan yang membuat alurnya tidak monoton dan mengalir
lancar. Saya juga suka bagian akhirnya, epilog yang dikemas dengan tampilan
yang unik tapi menyiratkan segalanya. Ah, love
it!
Penasaran?
Ayo, baca bukunya sekarang dan percayalah, kamu akan menemukan sesuatu yang
beda! :D
Sekilas Tentang
Penulis
Debbie baru
kelas satu SMA saat dia menulis novel pertamanya. Dan sekarang, dia sedang
menimba ilmu di Universitas Tarumanegara. Dikelilingi oleh keluarga besar dan
sahabat-sahabatnya, hidup gadis kelahiran 15 Mei 1989 ini selalu dipenuhi
cinta. Passion hidup Debbie adalah belanja, berburu barang murah, makan
martabak keju, pai buah, dan frappucino Starbucks tanpa merasa bersalah,
menyanyi dan menari walau belum tentu bagus, serta berkumpul dengan teman-teman
dan saudara-saudaranya. Terutama dari Komosi Remaja GKI Muara Karang. Ia juga
masih gemar bermain gitar, kecuali kalau centilnya sedang kumat dan ia tak mau
kuku hasil manikurnya rusak. Novel favoritnya sampai sekarang ini masih Harry
Potter, sekarang ditambah serial Shopaholic dan Twiligh. Kecintaannya akan
Disney dan impiannya untuk bertemu Prince Charming (eh, sekarang zamannya
Edward Cullen ya) dan hidup bahagia selamanya masih belum pudar. Mendapat
beasiswa keluar negri dan keliling dunia sebelum umurnya 30 tahun adalah
ambisinya.
My Rating:
Judul : Honey
Money
Pengarang :
Debbie
Penerbit : PT
Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 248
halaman
ISBN :
978-979-22-5709-0
Regards,
0 comments:
Posting Komentar